Senin, 04 November 2013

Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia




            Sejauh yang penulis ketahui, isu seputar HAM berangkat dari persoalan-persoalan social yang dihadapi manusia, meskipun juga mengandung kepercayaan bahwa manusia pada dasarnya memiliki hak. Akan tetapi, penulis juga meyakini bahwa manusia terdorong oleh daya yang ia sendiri terkadang menyadari dan terkadang tidak menyadari. Sehingga, perspektif mengenai Hak Asasi Manusia perlu disambung dengan Kewajiban Asasi Manusia.[1]
            Sifat dasar manusia salah satunya adalah memiliki kehendak untuk memecahkan teka-teki dalam kehidupan yang ia alami. Karena besarnya hasrat tersebut maka ia pun membutuhkan sesuatu yang lebih besar untuk menemukan jawaban tersebut. Dan keyakinan mengenai Sesuatu Yang Lebih Besar itu terjawab dalam agama-agama yang secara empiris member manfaat kepada manusia. Jika ada konflik yang mengatasnamakan agama, maka itu bersifat aksidental dan bukan prinsip dari agama itu sendiri. Dengan agama lah manusia dapat melatih rasa dalam dirinya mengenai Kewajiban Asasi Manusia, dorongan untuk berkorban, merasakan kesadaran bahwa umat manusia itu satu,dan bergabai bentuk lain yang intinya adalah bangkitnya spirit ketuhanan.
Dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 mengenai Hak-Hak Asasi manusia dirumuskan: “hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihomati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”, dan “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[2]
Berangkat dari pengertian tersebutlah penulis menyimpulkan bahwa definisi itu masih bersambung dan belum final untuk menggambarkan manusia secara lebih utuh. Karena manusia masih mengandung misteri yang sejauh ini masih membuat para pemikir pusing dengan kelakuan-kelakuan dan segala dinamika yang dialaminya. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk menggali sesuatu yang berbeda dari apa yang selama ini menjadi wacana publik yaitu Hak Asasi Manusia. Tentu saja ini bukan hanya pergantian istilah dari Hak menjadi Kewajiban, namun yang terpenting barangkali adalah proses secara seimbang dalam cara berpikir dan memandang dunia.
Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat adat pasal penulis melihat bahwa substansi dari deklarasi tersebut bersifat universal. Intinya adalah kesadaran mengenai kemanusiaan dan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Dalam sidang umum, dijelaskan ”mendorong Negara-Negara untuk tunduk pada dan melaksanakan secara efektif semua Kewajiban yang berlaku terhadap Masyarakat Adat sesuai dengan instrumen-instrumen internasional, khususnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, melalui konsultasi dan bekerja sama dengna masyarakat adat yang bersangkutan”[3]
            Dalam judul makalah ini penulis mengkhususkan pembahasan pada tinjauan filosofis, karena jika dilihat secara praksis hampir tidak bisa dibedakan antara orang yang sedang menikmati hak dan yang sedang menjalani kewajiban. Menarik untuk dicermati penggunaak kata wajib yang ada dalam deklarasi tersebut kemudian membandingkannya dengan  pernyataan Paulus Uskup terkait Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini.[4] Dalam bab Harapan dan kegelisan, di paragraph pertama ditegaskan bahwa “Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil”. Demikian juga denan Asas-Asas Umum dalam Wilayah Faqih (sebuah system yang digunakan di Iran), dalam pasal yang ketiga ditegaskan: “Pemerintah Republik Islam Iran memiliki kewajiban untuk mengarahkan seumber daya ke tujuan berikut”[5](sasaran sumber daya tersebut berjumlah 16 ayat yang seluruhnya berkaitan dengan pembangunan fisik dan non fisik).
            Bagi penulis, kemampuan seseorang dalam mewajibkan diri sendiri itulah yang memiliki nilai tambah dalam kesadaran posisi manusia. Pandangan manusia mampu menembus batas-batas fisikal yang melingkupinya sehingga ia bertindak tidak hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan material saja. Karena itulah, pengembangan kesadaran yang tidak hanya raga namun juga jiwa, harus dibangun. Sebagaimana dalam lagu Indonesia “bangunlah jiwanya bangunlah raganya”.
            Sejauh ini penulis meyakini, semakin banyak seseorang berpikir tentang kewajiban apa yang ia harus laksanakan, maka ia akan tergiring untuk hidup secara teratur, baik secara rohani maupun jasmani. Karena akar dari semua persoalan sebenarnya adalah kurangnya manajemen internal terhadap hati manusia. Dimensi tersebut selalu terisi oleh angan-angan yang seringkali menipu diri sendiri. Jika rumusan mengenai untuk apa hidup, kemana hidup akan berjaln dan hal-hal yang mendasar lainnya, itu saja sudah salah, maka malapetaka di depan mata. Di sinilah sebenarnya agama-agama menjawab persoalan tersebut. sikap memasrahkan diri ada dalam semua agama, dan mendorong manusia untuk berendah hati dan menghargai alam sebagai ciptaan sehingga tidak mengeksploitasi. Dengan demikian ambisi untuk menguasai lebih bisa ditekan dengan kesadara tersebut.

Kewajiban Asasi Manusia    
            Yang penulis maksud dengan Kewajiban Asasi Manusia adalah tuntutan terhadap  diri sendiri untuk menegakkan kewajiban asasi. Diri sendiri bisa berarti individu, kelompok, organisasi, lembaga, dan lain-lain. Ketika kewajiban asasi terlaksana maka hak asasi otomatis tegak. Secara transcendental, tuntutan terhadap diri sendiri dapat diketahui dengan menyadari posisi seorang individu secara hakiki. Misalnya memikirkan dari mana asal-usulnya, siapa diri yang sejati, dan siapa yang sebenarnya memiliki hak penuh atas dirinya itu. Dengan menyadari ketiga hal tersebut maka manusia akan menyusun rencana-rencana dalam hidupnya untuk memenuhi kewajibannya secara transcendental.
            Secara horizontal, Kewajiban Asasi didasarkan pada prinsip yang diyakini secara transcendental dan kemudian diaplikasikan secara teritorial (posisi seseorang atau kelompok dalam batas-batas tanggungjawabnya).  Kesadaran mengenai Kewajiban Asasi Manusia secara otomatis membawa seseorang pada penegakkan Hak Asasi Manusia. Karena dengan menjalankan kewajiban itulah maka hak-hak akan terpenuhi. Baik hak untuk orang lain atau hak untuk diri sendiri.  Di sinilah Kewajiban Asasi dan Hak Asasi bertemu, karena pada dasarnya salah satu Hak Asasi Manusia adalah menjalankan kewajibannya.
            Sebuah perumpaan, seorang laki-laki hanya bisa menjalankan kewajiban   seorang suami jika ia sudah beristri. Dengan kata lain, hak untuk menjalankan kewajiban baru ada ketika ia diakui sebagai suami. Sehingga, Kewajiban Asasinya adalah ekspresi cinta dari sebuah pengakuan kedua belah pihak. Penting dicatat di sini adalah prinsip saling mengakui satu sama lain. Di situlah manusia merasakan “surga turun ke bumi”, sehingga tak perlu menunggu mati untuk merasakan surga, karena rumus dan sifat-sifatnya sudah bisa dideteksi saat ini. Dengan pengakuan satu sama lain orang akan melupakan jasa yang telah ia berikan tapi senantiasa mengingat kebaikan orang lain. Cintng dasa sesama yang bukan lagi didasarkan pada kepentingan egosentrisme sesaat. Dan melakukan kewajiban menjadi semacam undangan yang dasarnya adalah cinta.[6]

Akibat ketidaksadaran terhadap Kewajiban Asasi Manusia
            Banyak sekali kasus-kasus di Indonesia ini pelanggaran HAM yang akar permasalahannya adalah ketidaktahuan mengenai kewajiban apa yang harus dilaksanakan terkait posisi seseorang. Atau sudah mengetahui akan tetapi bersikap acuh karena tidak sesuai dengan kepentingannya.
            Orang Indonesia kebanyakan, jika disadarkan mengenai hak-haknya, mereka akan mengukur dari seberapa nyaman dan cukup kehidupan yang mereka jalani. Sehingga ketika kebutuhan-kebutuhan hidup dinilai sudah memadai,[7] berarti Hak Asasi sudah dianggap tercukupi, sehingga daya kritis terhadap masalah Hak Asasi Manusia yang lebih universal terabaikan. Dan kesadaran mengenai kemanusiaan menjadi dangkal.
            Untuk kejelasan mengenai bentuk pengabaian Kewajiban Asasi Manusia, penulis mengambil contoh dari buku Ilusi Negara Islam tentang Klasifikasi kelompok garis keras.[8] Yaitu:
               Individu garis keras adalah orang yang menganut pemutlakan atau absolutism                pemahaman agama; bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang       berbeda; berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau        pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain; memusuhi            dan membenci orang lain Karena berbeda pandangan; mendukng pelarangan oleh pemerintah dan/ atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang     berbeda; membenarkan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda paham dan           keyakinan tersebut; menolak Dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia; dan/atau menginginkan adanya Dasar Negara Islam, bentuk Negara        Islam, atau pun Khilafah Islamiyah.[9]
Dari criteria kelompok garis keras tersebut penulis mengamati beberapa pengabaian Kewajiban Hak Asasi Manusia, diantaranya:
·       Dalam criteria pertama mengenai absolutism, kewajiban asasi yang terlanggar adalah keharusan untuk mencari kebenaran secara terus menerus. Dan selalu siap dengan kebenaran baru.
·       Criteria kedua sampai keenam, memiliki pengertian yang sama yang intinya adalah intoleran. Kewajiban Asasi yang dilanggar adalah keharusan untuk saling menyelamatkan.
·       Untuk criteria yang ketujuh, penulis lebih melihat pada sikap para pengusung ide-ide formalis: Khilafah Islamiyah, dan/atau Dasar Negara Islam, sikap para pengusung ide tersebut adalah sebagaimana disebutkan pada criteria sebelumnya. Dan ternyata, sikap-sikap seperti itu tidak hanya diamalkan oleh para penganut formalism Islam melainkan juga oleh para pengaku Pancasila. Sehingga melihat identitas seseorang di sini menjadi tidak lagi efektif untuk melihat persoalan sebagaimana mestinya. Karena dengan mudah siapa saja menggunakan slogan tertentu untuk kepentingan golongan.

            Diawal makalah penulis menyebut agama dalam kaitannya dengan Kewajiban Asasi Manusia. Mengapa demikian? Karena kewajiban dirasa lebih berat daripada hak. Sedangkan media yang ada dalam kehidupan manusia lebih banyak dikuasai oleh  didorong oleh rasa kehendak untuk mendapatkan hak. Kecenderungan tersebut mendorong seseorang tidak rela melihat kemerdekaan orang lain. Munculnya hegemoni dalam berbagai bidang kehidupan disebabkan oleh dorongan rasa ini. Agama, yang intinya adalah kembali kepada Tuhan dengan kesucian, tidak mengajarkan untuk membangun egosentrisme.
            Pengabaian Kewajiban Asasi Manusia mendorong pada pelemparan tanggungjawab kepada yang lain. Sebagaimana yang menjadi keyakina para kapitalis dalam memandang manusia secara sempit. Manusia hanya diukur lewat dahaganya akan keuntungan dan lewat kapasitas konsumsinya.a[10] Untuk persoalan cara berpikir seperti ini-yang mempunyai implikasi luas dalam kehidupan manusia-pemahaman Hak Asasi Manusia barangkali belum menjangkau, karena masih pada taraf keyakinan. Dan akan dengan mudah bagi siapa saja untuk merasa bahwa cara hidup yang konsumtif adalah bagian dari ekspresi Hak Asasi.
            Akhir kata, memang sudah saatnya manusia untuk kembali pada kemurnian yang intinya adalah membawa orang pada keyakinan akan Allah.[11]Masyarakat dunia sudah terlalu bosan dengan peperangan ,pertikaian, ketidakadilan, dominasi, konflik-konflik sectarian, kesenjangan, dan rencana-rencana jahat untuk menghancurkan manusia. Masyarakat manusia adalah satu, berposisi sebagai pengemban amanah dari Penciptanya.

Daftar Pustaka         
Wahid, Abdurrahman (Peny.) Ilusi Negara Islam,  Jakarta: Wahid Institute, 2009.
Yamani, antara al-Farabi dan Imam Khomeini, Bandung: Mizan, 2002.
Zohar,  Danah & Marshall, Ian, Spiritual Capital, Bandung: Mizan Media Utama, 2005.



               [1] Pernyataan Paulus Uskup di Gereja Santo Petrus 28 Oktober 1065, dalam Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani, dalam paragraph pertama mengesankan penulis bahwa sikap seperti itulah yang merupakan cermin dari kesadaran mengenai Kewajiban Asasi Manusia. Sebuah inisiatif yang muncul dari dalam diri dan kesadaran yang bersifat transcendental.
               [2] Penulis menguti dari makalah Pak Martin yang berjudul Menuju masyarakat yang berwawasan Hak Asasi Manusia.
               [3] Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Dokumen tersebut penulis dapat dari Prof. Dr Martin Sardi yang diberikan dalam bentuk CD.
               [4] Dokumen tersebut juga penulis dapat dari Prof. Martin.
               [5] Yamani, antara al-Farabi dan Imam Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 161.
               [6] Sebuah kalimat yang untuk saat ini belum tercapai secara luas dan mencakup struktur masyarakat, namun paling tidak bisa diterapkan secara antarpersonal atau kelompok yang berkumpul dan saling  mengakui satu sama lain.
               [7] Bahkan dalam cara mengukur kebutuhan lebih terdorong oleh keinginan-keinginan yang diisukan. Dan celakanya lagi, isu yng dipercaya adalah rekayasa kekuasaan segelintir orang.
               [8] Tertulis dalam buku tersebut kelompok Islam garis keras, penulis mengambil dua kata terakhir karena karekter seperti itu tidak hanya terjadi dalam kelompok keagamaan, melainkan kelompok kepentingan yang lain, atau kekerasan/kekejaman dalam segala bentuk.
               [9] Abdurrahman Wahid (Peny.) Ilusi Negara Islam,  (Jakarta: Wahid Institute, 2009), hlm. 45-46.
               [10] Danah Zohar  & Ian Marshall, Spiritual Capital, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), hlm. 57.
               [11] Ungkapan Prof. Martin sewaktu mengajar di kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar